|
Skema Tahapan perjanjian internasional menurut Indonesia |
|
|
|
|
TAHAP-TAHAP PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Sebagian besar transaksi dan interaksi antara negara-negara dalam
hubungan internasional bersifat rutin dan bebas konflik. Semakin banyak
permasalahan yang muncul baik nasional, regional, ataupun global
memerlukan perhatian dan penyelesaian dari banyak negara. Dalam banyak
kasus, pemerintah beberapa negara seringkali berunding untuk membahas
masalah serta memberikan solusi bagi permasalahan yang timbul
antarnegara.
Istilah perjanjian merujuk pada interaksi antarnegara dalam
menyelesaikan berbagai masalah atau konflik kepentingan di berbagai
bidang, seperti bidang politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan
dan keamanan (militer). Sebuah perjanjian harus dapat memberikan
manfaat bagi negara-negara yang bergabung dalam suatu perjanjian.
Terdapat beberapa pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh para ahli
hubungan internasional, antara lain.
a. Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M
Perjanjian internasional sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan
akibat-akibat hukum tertentu.
b. Konferensi Wina 1969
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua
negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum
tertentu yang harus dipatuhi oleh setiap negara berdasarkan hukum
internasional yang berlaku.
c. Oppenheimer
Dalam bukunya yang berjudul International Law, Oppenheimes
mendefinisikan perjanjian internasional sebagai “international treaties
are states, creating legal rights and obligations between the parties”
atau perjanjian internasional melibatkan negara-negara yang menciptakan
hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian
tersebut.
d. K.J. Holsti
Perjanjian internasional merupakan hasil interaksi antarnegara yang
diwakili pemerintah bersepakat untuk merundingkan, menyelesaikan, dan
membahas masalah, mengemukakan bukti teknis untuk menyetujui satu
penyelesaian, dan mengakhiri perundingan dengan perjanjian yang
memuaskan kedua belah pihak.
2. Klasifikasi Perjanjian Internasional
Terdapat banyak perjanjian internasional yang mengatur setiap negara di
dunia. Pengklasifikasian perjanjian internasional ini dapat dibedakan
dari aspek subjek, isi, proses, dan fungsinya.
a. Klasifikasi berdasarkan subjek perjanjian, antara lain perjanjian
antarnegara yang merupakan hukum internasional, perjanjian antara negara
dengan organisasi internasional, dan perjanjian organisasi
internasional dengan organisasi internasional lainnya.
b. Klasifikasi berdasarkan isi perjanjian dibagi atas beberapa faktor
yang melatarbelakangi, yaitu secara politis, ekonomi, hukum, dan
lain-lain. Organisasi NATO dan SEATO didirikan karena faktor politis.
Secara ekonomi, perjanjian dapat dilihat dalam bantuan keuangan dari
lembaga atau organisasi keuangan internasional, misalnya IMF, World
Bank, dan CGI. Secara hukum, pengklasifikasian perjanjian berdasarkan
isi dapat dilihat pada perjanjian ekstradisi antarnegara. Batas wilayah
antarnegara dapat dilihat pada perjanjian teritorial, batas laut, dan
batas daratan. Perjanjian secara kesehatan dapat dilihat pada kerjasama
penanggulangan penyakit AIDS, flu burung, dan sebagainya.
c. Klasifikasi berdasarkan proses pembentukan perjanjian dapat dibagi
dua. Pertama, perjanjian yang bersifat penting. Perjanjian bersifat
penting dibuat melalui proses perundingan, penandatangan, dan ratifikasi
sehingga menjadi hukum internasional yang mengikat negara-negara yang
menandatangani. Kedua perjanjian bersifat biasa. Perjanjian bersifat
biasa dibuat dengan melakukan perundingan dan penandatanganan
perjanjian.
d. Klasifikasi berdasarkan fungsi perjanjian merupakan perjanjian
yang mengatur tata cara pengaturan hubungan internasional bagi setiap
negara dalam bentuk hukum yang mengikat setiap negara yang
menandatangani. Contohnya adalah Konvensi Wina tahun 1958 tentang
hubungan diplomatik yang harus ditaati oleh setiap negara di seluruh
dunia. Selain itu, ada juga yang disebut perjanjian khusus. Perjanjian
khusus mengikat negara-negara tertentu dalam bentuk hak dan kewajiban
negara-negara penandatangan
3. Tahap-tahap Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis dalam bentuk dan nama
tertentu serta menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tertentu
(negara atau organisasi). Dalam hukum internasional, tahapan pembuatan
hukum internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum
(Perjanjian) Internasional. Konvensi tersebut mengatur tahap-tahap
pembuatan perjanjian baik bilateral (dua negara) mau pun multilateral
(banyak negara). Tahap-tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
a. perundingan (negotiation),
b. penandatanganan (signature),
c. pengesahan (ratification).
Dalam melakukan perjanjian, suatu negara harus melakukan tahap-tahap
pembuatan perjanjian. Tahap-tahap tersebut dilakukan secara berurutan,
yaitu mulai dari perundingan antarnegara yang berkepentingan,
penandatanganan MOU, agreement, atau pun treaty yang mengikat
negara-negara yang membuat perjanjian, mensahkan perjanjian tersebut
melalui ratifikasi yang melibatkan dewan perwakilan atau parlemen.
Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional
menyebutkan tiga tahap dalam melakukan perjanjian internasional, yaitu
a. Perundingan (Negotiation)
Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh
negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara
melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan.
Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta
besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa
Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan
maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan.
b. Penandatanganan (Signature)
Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh
kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala
pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian
ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan
oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara yang
menandatangani perjanjian.
c. Pengesahan (Ratification)
Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak
DPR untuk mensahkan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat
dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan yang diemban dalam
perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah
perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila
perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka
perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab.
Di Indonesia, tahapan pembuatan perjanjian internasional dilakukan
berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional. Dalam Pasal 6 ayat (1) disebutkan pembuatan
perjanjian internasional dilakukan melalui tahap-tahap berikut ini.
a. Penjajakan, merupakan tahap awal yang dilakukan para pihak yang akan
melakukan perundingan mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian
internasional.
b. Perundingan, merupakan tahap setelah adanya kesepakatan yang dibuat
dalam tahap penjajakan. Perundingan merupakan tahap kedua yang membahas
materi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian
internasional.
c. Perumusan naskah, merupakan tahap pembuatan perjanjian internasional
yang tujuannya untuk merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional
yang akan ditandatangani para pihak terkait.
d. Penerimaan, merupakan tahap penerimaan para pihak atas naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati.
e. Penandatanganan, yaitu tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk
melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati
oleh kedua pihak.
Terdapat perbedaan kekuatan untuk mengikat dalam perjanjian bilateral
(perjanjian dua negara) dengan perjanjian multilateral (banyak negara).
Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil
perundingan dapat disebut “penerimaan”. Penerimaan dilakukan dengan
membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh
ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses
penerimaan (acceptance/approval) umumnya merupakan tindakan pengesahan
suatu negara atas perubahan perjanjian internasional.
Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian
internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak yang
tunduk pada ketentuan perjanjian internasional. Di Indonesia, sesuai
ketentuan Pasal 3 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, proses mengikatkan diri pada perjanjian internasional
dilakukan melalui cara-cara berikut.
a. penandatanganan,
b. pengesahan,
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik,
d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.
Negara dapat dikatakan terikat pada perjanjian internasional setelah
dilakukan pengesahan baik dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi
(accession), penerimaan (acceptance), maupun penyetujuan (approval).
Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu
perjanjian internasional dalam bentuk
a) Ratifikasi (ratification),
Ratifikasi (ratification) dilakukan apabila negara yang akan mengesahkan
suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian.
b) Aksesi (accession),
Aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian.
c) Penerimaan (acceptance) dan Penyetujuan (approval).
Penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan
menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian
internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut.
Tahukah kamu?
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak/KHA (Convention on the
Right of the Child/CRC) pada tanggal 26 Januari 1990 melalui Kepres RI.
No. 36 Tahun 1990. Tindakan pemerintah Indonesia dengan meratifikasi
Konvensi Hak Anak tersebut merupakan upaya untuk memberikan perlindungan
dan pengembangan hak-hak anak di Indonesia.
Selain pengesahan, negara-negara yang terlibat dalam perjanjian
intenasional dapat menyatakan persyaratan (reservation) atau deklarasi/
(declaration). Reservasi (reservation) adalah pernyataan sepihak suatu
negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada
perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika
menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian
internasional yang bersifat multilateral. Pernyataan (declaration)
adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran
mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional. Pernyataan
dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan
perjanjian internasional yang bersifat multilateral guna memperjelas
makna ketentuan tersebut.
Dalam praktiknya, terdapat perjanjian-perjanjian internasional yang
tidak memerlukan pengesahan dan langsung berlaku setelah
penandatanganan. Untuk perjanjian-perjanjian internasional yang
memerlukan pengesahan terdapat beberapa bentuk pengesahan.
4. Proses Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia
Terdapat tiga model pengesahan yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu.
a. Pengesahan perjanjian internasional menjadi hukum positif suatu
negara dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif. Model pengesahan
demikian umumnya dilaksanakan di negara-negara yang menganut sistem
monarki (kerajaan) absolut dan otoriter.
b. Pengesahan perjanjian internasional menjadi hukum positif nasional
dilakukan oleh badan legislatif. Model pengesahan tersebut jarang
terjadi atau bahkan saat tidak ada negara yang menganut sistem tersebut.
Hal ini disebabkan karena pihak yang membuat perjanjian adalah
pemerintah negara (eksekutif) sehingga dalam pengesahaannya pemerintah
(eksekutif) akan selalu diikutsertakan.
c. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan secara bersama-sama
antara legislatif dengan eksekutif. Model ini disebut dengan sistem
campuran. Sistem campuran ini paling banyak digunakan negara-negara di
dunia.
Di Indonesia, pengesahan perjanjian internasional menjadi hukum
positif Indonesia menggunakan sistem campuran. Landasan yuridis
pembuatan perjanjian internasional didasarkan pada ketentuan Pasal 11
ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan membuat
perjanjian dengan negara lain. Ketentuan tersebut bersifat umum dan
tidak memuat bagaimana proses pembuatan perjanjian internasional yang
dilakukan Indonesia dengan pihak lain. UUD 1945 juga tidak memuat
ketentuan bagaimana proses pengikatan diri terhadap perjanjian yang
dibuat.
Pada masa Pemerintahan Orde Lama, untuk melaksanakan ketentuan Pasal
11 ayat (1) UUD 1945, didasarkan pada ketentuan yang ada dalam Surat
Presiden Nomor 2826/HK/1960. Surat tersebut dibuat dan dikirim Presiden
Soekarno kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 22
Agustus 1960. Inti Surat Nomor 2826 HK/1960 adalah pemerintah meminta
persetujuan DPR, jika materi perjanjian internasional tersebut bersifat
penting. Akan tetapi, jika perjanjian mengandung materi lain, DPR cukup
diberitahukan saja. Dalam praktiknya, terjadi berbagai penyimpangan
dalam melaksanakan surat presiden tersebut sehingga perlu dibuat
undang-undang tentang Perjanjian Internasional.
Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 berlaku hingga tahun 2000. Surat Nomor
2862 HK/1960 tersebut tidak berlaku lagi setelah diundangkannya UU
Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional pada tanggal 23
Oktober 2000. Dengan demikian, segala bentuk perjanjian dan proses
pengesahan perjanjian internasional tidak lagi didasarkan pada ketentuan
Surat Nomor 2862 HK/1960 tapi mengacu pada ketentuan pada UU Nomor 24
Tahun 2000.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2000, proses pengesahan perjanjian
internasional diatur pada BAB III (Pasal 9 – 14) tentang Pengesahan
Perjanjian Internasional. Menurut ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2000,
semua pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
atau keputusan presiden. Selain perjanjian internasional yang perlu
disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden, Pemerintah RI
juga dapat membuat perjanjian internasional melalui cara-cara lain
sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut.
Materi perjanjian internasional yang disahkan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara,
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia,
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara,
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup,
e. pembentukan kaidah hukum baru,
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Tahukah kamu?
Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi
seperti yang disebutkan di atas, dilakukan dengan keputusan presiden.
Pengesahan perjanjian internasional yang dituangkan dalam bentuk
keputusan presiden harus disampaikan kepada DPR. Pemerintah Republik
Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.
sumber : http://www.untukku.com/artikel-untukku/tahap-tahap-perjanjian-internasional-untukku.html